Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Gugatan Ke MA Soal Caleg Mantan Napi Korupsi

 

ABNEWS – Mantan Pimpinan KPK Abraham Samad dan Saut Situmorang bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mengajukan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur syarat calon anggota legislatif Pemilu 2024 ke Mahkamah Agung (MA).

Koalisi penggugat diantaranya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Mereka menggugat PKPU No. 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta PKPU No. 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD RI.

“Dua Peraturan KPU itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, terutama berkaitan dengan pengecualian syarat bagi mantan terpidana, khususnya tindak pidana korupsi, yang akan maju sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Gedung MA, Jakarta, Senin (12/6/2023).

Menurut Kurnia, putusan MK mewajibkan mantan terpidana melewati jeda waktu lima tahun setelah masa pemidanaan.

Namun, KPU memberikan syarat pengecualian dalam PKPU kepada napi yang dicabut hak politiknya lewat putusan pengadilan.

Apabila terpidana dijatuhi pidana tambahan pencabutan hak politik satu tahun, kata Kurnia mengutip aturan KPU, maka tahun kedua para mantan terpidana bisa langsung maju menjadi anggota calon legislatif.

“Bagi kami ketentuan itu jelas sekali terang benderang bertentangan dengan putusan MK, apalagi sudah ada statement langsung dari KPK dan Bawaslu yang mempertanyakan legitimasi dan secara filosofis aturan dari PKPU 10 dan 11,” terang Kurnia.

Dalam kesempatan yang sama, mantan pimpinan KPK Saut Situmorang berharap MA segera memutuskan gugatan uji materi ini demi kepastian hukum dalam proses pendaftaran dan verifikasi bacaleg yang telah berlangsung sejak 1 Mei 2023.

“Supaya ada kepastian, bagaimana sebenarnya pesta demokrasi kita yang berkaitan dengan adanya beberapa orang yang bermasalah beberapa waktu lalu, tetap kita bisa menciptakan politik cerdas dan berintegritas yang selama ini kita kenal dan kita promosikan di KPK,” kata Saut.

KPU bantah selundupkan pasal

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari membantah menyelundupkan pasal tentang syarat bagi mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg di Pemilu 2024.

Pasal itu disebut diselundupkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD.

Peraturan itu mengatur tentang mantan terpidana korupsi yang hendak mencalonkan diri dalam Pemilu 2024 tidak diwajibkan melewati masa jeda lima tahun.

“KPU tidak menyelundupkan pasal, namun melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” terang Hasyim dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/5/2023).

Hasyim menjelaskan dalam membuat aturan itu, KPU telah merujuk dan menjadikan Putusan MK 87/PUU/-XX/2022 sebagai sumber hukum.

KPU juga telah menempuh prosedur uji publik, konsultasi kepada pembentuk Undang-undang dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), dan proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM sebelum dilakukan pengundangan.

Menurut Hasyim, Putusan MK 87/PUU/-XX/2022 menyatakan uji materi Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu itu menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah WNI dan harus memenuhi persyaratan tidak pernah sebagai terpidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih.

Kecuali terhadap terpidana kasus kealpaan dan pidana politik karena mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Kemudian, bagi mantan terpidana korupsi, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani masa tahanan mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

“Karena sanksi pencabutan hak politik dicalonkan berdasar putusan pengadilan, oleh MK dianggap sudah adil sebagai jeda waktu, sehingga tidak perlu digenapi jadi lima tahun. MK menghormati putusan pengadilan yang ada,” jelas Hasyim.

Atas dasar putusan tersebut, Hasyim kemudian memberikan simulasi sebagai berikut;

Mantan terpidana korupsi yang diputus pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, dan pidana tambahan pencabutan hak politik tiga tahun. Yang bersangkutan bebas murni (berstatus mantan terpidana) pada tanggal 1 Januari 2020.

Jika mendasarkan pada amar putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022, maka jeda waktu untuk dapat dipilih harus melewati lima tahun, sehingga jatuh pada tanggal 1 Januari 2025.

Namun oleh hakim pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung, dengan putusan pidana tambahan pencabutan hak politik selama tiga tahun, maka yang bersangkutan sejak bebas murni pada tanggal 1 Januari 2020, memiliki hak untuk dipilih pada tanggal 1 Januari 2023. Ketentuan jeda waktu sesuai amar putusan MK tidak berlaku pada situasi ini. (*)

 

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses